Rubrik Sosok

Buku 'Ja Sam Amelija' -- 'Saya Amelia' (Bagian 1): Perjalanan Hidup yang Berat

Amelia A Yani

AMELIA A Yani, putri ketiga pahlawan Revolusi Jenderal Achmad Yani, baru saja meluncurkan buku ke-6. Buku karya Duta Besar RI untuk Bosnia dan Herzegovina periode 2016-2020 itu diberi judul dalam bahasa Bosnia 'Ja Sam Amelija' atau artinya 'Saya Amelia'.

Dengan menggunakan teks dua bahasa, Indonesia dan Inggris, buku setebal 274 halaman itu menceritakan hampir seluruh bagian hidupnya. Ia memulai dengan menceritakan kelahirannya di sebuah pengungsian di Desa Bagongan, Magelang, Jawa Tengah, pada masa revolusi, ketika Magelang dibumihanguskan. Tepatnya 22 Desember 1949

Pascaperang Gerilya, Amelia kecil bersama ayah dan ibu menetap di Magelang yang sejuk hingga ia memiliki dua adik. Ketika itu, ayahandanya masih berpangkat letnan. Dari sana, keluarganya pindah ke Tegal, bahkan Amelia kecil sempat bersekolah di SD Kraton.

Selanjutnya, ia mengungkap masa-masa indah ketika bisa menikmati liburan keluarga selama tiga minggu untuk berkeliling Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali. Menurutnya, itu liburan paling mengesankan, karena biasanya ia kerap ditinggal bertugas, sang ayah harus bersekolah lagi 1,5 tahun di Amerika dan Inggris, bahkan bertugas ke Yugoslavia yang kini sebagian wilayahnya menjadi Bosnia dan Herzegovina, untuk membeli senjata guna merebut Irian Barat (Papua).

Kebahagiaannya bertambah saat keluarga pindah ke Jakarta, dan ayahanda sudah berpangkat letnan jenderal. Saat itu, Letnan Jenderal Achmad Yani menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat.  

Namun kebahagiaannya tidak berlangsung lama, karena pada 1 Oktober 1965 dini hari terjadi peristiwa memilukan. Ketika itu Jenderal Ahmad Yani diberondong peluru  di rumahnya sendiri di Jalan Lembang Nomor D58, Menteng, Jakarta Pusat, dalam peristiwa Gerakan 30 September. 

Peristiwa itu membuatnya menderita luka batin berkepanjangan. Betapa tidak, seperti yang pernah ia ungkapkan dalam wawancara di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina, dini hari itu ia menyaksikan tubuh sang ayah tercinta yang berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa diseret bagian kakinya dari dalam rumah lalu dilemparkan ke dalam truk.

Amelia bersaudara menjerit-jerit dan menangis ketakutan. Mereka mencoba mengejar ke luar, tapi tak berdaya, karena kelompok pembunuh dan penculik menghadang dengan senjata laras panjang dan mengancam mereka. "Kalau anak-anak tidak masuk, akan dihabisi semua!" Kalimat ancaman salah seorang penculik itu selalu terngiang di telinga Amelia dan peristiwa tersebut meninggalkan luka yang begitu dalam pada dirinya.

Luka yang begitu dalam membuatnya jatuh sakit. Berminggu-minggu Amelia yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA merasa pikiran dan batinnya terganggu. Setiap magrib tiba, ia merasakan hal aneh pada dirinya, sehingga ibundanya, Yayuk Ruliah Sutodiwiryo, segera menyingkirkan jejak-jejak peristiwa yang menyakitkan itu dari rumah.

Kemeja berlumur darah yang dikenakan sang ayah saat pembunuhan terjadi, dikuburkan di makam. Semua seragam militer yang semula digantung di salah satu ruangan diturunkan. Begitu juga rumah di Jalan Lembang yang menjadi tempat kejadian perkara, diserahkan kepada Angkatan Darat untuk dijadikan museum yang kini dikenal dengan Museum Sasmitaloka Jenderal Achmad Yani.

Setamat SMA Amelia melanjutkan ke Universitas Indonesia. Namun hanya beberapa bulan belajar di kampus itu, ia memilih sekolah di University of Hull di East Yorkshire, Inggris. 

Empat tahun kemudian Amelia kembali ke Tanah Air dan bekerja di Departemen Luar Negeri sebagai Sekretaris Menteri Luar Negeri yang ketika itu dijabat oleh Adam Malik. Tetapi ia tidak lama berada di posisi itu, karena ia ditugaskan di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS. 

Di tempatnya bertugas itu pula Amelia bertemu jodoh yang memberinya seorang putra dan ia beri nama Dimas Tjahjono Drajat. Setelah tiga tahun bertugas di PBB, mereka kembali ke Indonesia dan Amelia melanjutkan bekerja di United Nations Development Program (UNDP).

Bahagiakah Amelia saat itu? Belum. Pekerjaannya di UNDP di tahun ke 14 membuatnya jenuh. Terutama setiap kali ia bertugas mendampingi pimpinannya ke daerah sebagai penerjemah, ia kerap ditegur sang atasan hanya lantaran ia lebih populer. 

"Masyarakat di daerah yang saya kunjungi sering mengajak ngobrol saya atau minta foto bersama, karena mereka mengenal saya sebagai putri ayah saya," kenang Amelia.

Karena friksi semakin tajam dan menurutnya tidak bisa ditoleransi lagi, ia pun memilih mundur dari UNDP, dan menganggur. 

Pancamundur dari UNDP, perasaan bahwa Jakarta kota yang menyakitkan, kejam (karena ayah tercintanya dibunuh di kota ini), dan sumpek, muncul kembali. Itulah sebabnya ia meninggalkan Jakarta dan memilih menjadi petani di Dusun Bawuk, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Belum lagi kebahagiaannya di tempat sunyi itu berlangsung lama, prahara kembali menimpanya. Perempuan yang punya hobi memasak dan membuat kue ini harus berhadapan dengan hukum, dengan tudingan korupsi. Ia dimejahijaukan, dan merasa diperlakulan buruk atas tuduhan yang tidak ia lakukan.

Kepedihan perjalanan hidupnya itulah yang menjadi inspirasi buku ke-6 ini ia beri judul 'Ja Sam Amelia' atau 'Saya Amelia'. 
"Inilah saya, Amelia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan perjalanan hidupnya yang berat dan diperlakukan kejam," jelas Amelia.  (Patna Budi Utami)