Special Report: MPR RI

Terbitkan Dua Buku di Ulang Tahun ke-61, Bamsoet Menyuarakan Kegalauan Atas Kondisi Negara dan Bangsa

JAKARTA (10/9/2023) --- Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menyuarakan kegalauan atas kondisi negara dan bangsa saat ini. Antara lain tidak adanya rancangan pembangunan jangka panjang, yang dulu dikenal sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), posisi MPR yang tidak memiliki 'pintu darurat', dan demokrasi  yang transaksional. Kegalauan-kegalauan itu diungkapkan Bamsoet saat menerbitkan  dua buku terbarunya, Haluan Negara Menuju Indonesia Emas 2045 dan News Maker Satu Dasawarsa 'The Politician' Senayan,  sekaligus merayakan ulang tahun yang ke-61 di Bengkel Space, Kawasan SCBD, Jakarta, Minggu (10/9/2023).

"Dalam buku saya yang ke-31, Haluan Negara Menuju Indonesia Emas 2045, saya banyak menyuarakan kegalauan demi kegalauan. Kegalauan pertama, negara kita ini, sampai hari ini, belum memiliki rencana pembangunan jangka panjang, yang mengikat satu periode presiden ke presiden berikutnya," kata Bamsoet. Dengan ketiadaan GBHN, yang saat ini dinamakan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), tidak ada pembangunan yang berkesinambungan. Tidak ada kepastian, bangsa ini mau dibawa ke mana.

Bamsoet menyebut, pola pembangunan saat ini hanya berdasarkan pada visi dan misi presiden terpilih. Ketika presiden ganti, ganti pula arah pembangunannya. "Kita sulit mewujudkan target Indonesia Emas 2045, jika tidak ada perencanaan pembangunan jangka panjang. Mengingat target menjadikan Indonesia maju sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat," ungkapnya.

Tidak adanya perencanaan jangka panjang yang jelas dan disepakati serta dipatuhi pemerintah yang satu dan pemerintah berikutnya, kata Bamsoet, "Saya tidak yakin kita mampu mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045. Jangan-jangan kita hanya mendapatkan perak atau bahkan perunggu." 

Selain galau negara tidak memiliki pola pembangunan model GBHN atau PPHN, Bamsoet menyinggung kegalauannya yang kedua. Yakni, posisi MPR yang saat ini tidak memiliki 'pintu darurat' bilamana timbul kejadian yang luar biasa. "Konstitusi kita tidak ada 'pintu darurat'-nya. Tidak ada protokol untuk menghadapi kejadian luar biasa," kata Bamsoet.

Jika pemilu tidak bisa terlaksana, terangnya, maka seluruh jabatan hasil pemilu tidak ada. Seluruh anggota DPR tidak ada. Tidak ada presiden yang bisa dilantik. "Yang tersisa hanya Panglima TNI dan Kapolri. Karena berdasarkan konstitusi masa jabatan anggota legislatif akan berakhir pada 1 Oktober 2024. Kemudian harus diangkat anggota lesgislatif yang baru. Jabatan presiden berakhir 20 Oktober 2024, harus pula ada penggantinya," kata Bamsoet mengingatkan.

Pada situasi demikian, menurut Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kadin Indonesia ini, MPR perlu memiliki kembali kewenangan subjektif superlatif, melalui hak-hak mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau Tap MPR bersifat mengatur (regeling). Ini  sebagai pintu darurat, manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan situasi kedaruratan yang luar biasa, yang tidak bisa diatasi dengan tindakan biasa.

Kegalauan ketiga, sebut Ketua DPR ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini, terkait masih maraknya demokrasi transaksional yang di kalangan akar rumput diistilahkan NPWP (nomor piro wani piro). "Saya khawatir, parlemen pada akhirnya hanya diisi oleh orang-orang yang memiliki modal dalam kampanye, tapi tidak memiliki kemampuan dan tidak memiliki nilai-nilai kebangsaan. Ujung-ujungnya kita terjebak pada oligarki, para pemilik modal. Kita terjebak pada demokrasi angka-angka," kata Bamsoet.

Harapannya, kegalauan demi kegalauan yang ia tuangkan dalam bukunya yang ke-31 itu, bisa menggugah dan menjadi referensi bagi para pemimpin bangsa di masa depan. Utamanya ketika menyusun kebijakan dan membangun negara ini demi mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045. 

Hadir  antara lain  Menkopolhukam Mahfud MD, Rektor IPB Arief Satria, influencer Deddy Corbuzier dan Baim Wong, Wakil Ketua MPR Arsul Sani dan Hidayat Nurwahid, politisi Partai Golkar M Misbakhun, wartawan senior Wina Armada, serta rekan-rekan Bamsoet dari berbagai organisasi. ***