"Negara maju secara ekonomi lebih kuat bila dibandingkan Indonesia. PDB perkapita Amerika Serikat mencapai US$63.123, Tiongkok US$10.229, sementara Indonesia hanya US$4.349,17 atau jauh di bawah negara-negara maju. Itupun, angka rasio gini Indonesia mencapai 0,38," kata syarief dalam keterangan tertulis, Selasa (15/11/2022).
Politisi Partai Demokrat itu juga mengingatkan pemerintah terkait dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Menurutnya, bertdasarka kajian BPK indikator kerentanan utang Indonesia melampui rekomendasi IMF dan International Debt Relief (IDR).
Berdasarkan berbagai kajian akademis, lanjutnya, rasio debt service terhadap penerimaan sudah mencapai 46,77% dan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan 19,06%, melampaui rekomendasi IMF. Syarief juga mengungkapkan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) menyebutkan utang Indonesia mencapai Rp6.626,4 triliun atau 59,70% dari aset negara. Persentase itu melebihi rekomendasi IMF sebesar 25% hingga 35% dan BPK RI mengingatkan potensi gagal bayar utang Indonesia.
"Banyak lembaga yang sudah mengingatkan soal utang Indonesia yang semakin besar. Pemerintah lebih baik fokus menyelesaikannya, dan bukan membandingkannya dengan negara maju yang memiliki perekonomian kuat," tuturnya. Ia menyampaikan itu terkait dengan pernyataan pemerintah melalui Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi bahwa utang Indonesia mencapai Rp7.420,47 triliun pada akhir September 2022. Menurut Syarief, angka tersebut sangat besar.
Ia juga mengungkapkan, Surat Berharga Negara (SBN) mendominasi hingga 88,2% dari total utang pemerintah, sementara itu investor menuntut imbal hasil SBN 7,4% untuk tenor 10 tahun. Dengan kondisi tersebut, ujar Syarief, dana APBN akan terbebani untuk membayar bunga utang yang angkanya melebihi Rp410 triliun. *
Editor : Patna Budi Utami