Menurutnya, keberadaan Kementerian PPPA pada periode pemerintahan yang lalu basa-basi karena institusi itu hanya diberi kewenangan koordinatif, dan bukan teknis, dengan anggaran sangat minim, yakni Rp300 miliar dan setiap tahun cenderung menurun. Padahal, lanjutnya, masalah perempuan dan anak semakin banyak. Pemerintah seharusnya juga mengetahui bahwa mengurusi ibu dan anak artinya mengurusi sekitar 60% dari seluruh penduduk Indonesia. Ia menyebutkan anggaran sebesar itu tidak akan efektif, bahkan jauh dari wajar.
"Saya pribadi, laki-laki, selaku anggota Komisi VIII DPR RI mitra kerja Kementerian PPPA sudah berkali-kali menyampaikan kepada Ibu Menteri saat itu, bahwa saya tidak rela Kementerian PPPA hanya basa basi semata, melainkan harus menjadi kementerian yang benar-benar berperan sesuai tugasnya untuk ibu dan anak Indonesia," kata Hidayat saat menerima dan berdikusi dengan ketua dan jajaran pengurus Wilayah Nasyiatul Aisyiyah DKI Jakarta di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2024).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga mengungkapkan, berdasarkan data, tingkat kesehatan ibu di Indonesia, termasuk ibu melahirkan, termasuk yang terburuk di ASEAN selain Kamboja. Soal stunting, Indonesia juga menempati posisi ketiga terburuk di ASEAN, diikuti Laos dan Kamboja.
Padahal, ujarnya, target Jokowi, Presiden RI saat itu, prevalensi stunting pada 2024 turun menjadi 14%. Namun, prevalensi stunting nasional masih berada di angka 21,5%. Ia menyayangkan Menteri PPPA tidak bisa memperjuangkan penguatan kewenangan dan anggaran tambahan, sehingga akhirnya untuk membantu kinerja kementerian dan negara dalam menyelamatkan ibu dan anak, berhasil disusun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang disahkan pada Juni 2024.
Hidayat memaparkan, dalam UU tersebut terdapat beberapa usulan Fraksi PKS DPR, antara lain ditambahnya cuti untuk ibu melahirkan dan hak cuti bagi suami yang istrinya melahirkan. Menurutnya, hal tersebut penting agar tidak ada lagi peristiwa seorang pilot tertidur saat menerbangkan pesawat karena kelelahan setelah menjaga istrinya yang melahirkan.
Selain itu, tambahnya, ada hak yang diterima ibu melahirkan, yakni hak sprititual. Awalnya hanya ada hak yang bersifat sosial, kedokteran, dan tidak ada hak spiritual. Menurut Hidayat, ketika seorang ibu hamil dan melahirkan, hak spiritualnya juga harus dipenuhi agar keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi bisa terjaga secara komprehensif, sebagai upaya legal dan konstitusional untuk mengatasi masalah masih tingginya angka kematian ibu saat melahirkan dan anak yang terdampak stunting.
Ia menyayangkan kesepakatan yang baik antara pemerintah dan Komisi VIII terkait UU KIA itu belum ditindaklanjuti oleh Kementerian PPPA. Hal itu terbukti dari tidak adanya anggaran dan program yang disampaikan Kementerian PPPA kepada Komisi VIII DPR RI saat kegiatan pembahasan program Kementerian PPPA RI 2025.
Hidayat menyampaikan apresiasi di era pemerintahan Presiden Prabowo hadir kementerian yang menampilkan nomenklatur ketahanan keluarga. "Ini langkah bagus. Maka kami mengajak komponen masyarakat yang peduli dengan nasib ibu (perempuan) dan anak termasuk, Nasyiatul Aisyiyah, untuk berkolaborasi berta'awun dengan terus mengawal dan mengkritisi agar ketahanan keluarga benar-benar diwujudkan dalam program dan anggaran. Dengan demikian, nasibnya tidak seperti Kementerian PPPA lalu. Apalagi Kementerian PPPA periode ini mempunyai wakil menteri, kewenangannya akan diperkuat dan anggarannya ditambahkan," katanya.
Ia menyebutkan, langkah tersebut penting untuk membela perempuan dan melindungi anak-anak Indonesia dari stunting dan masalah-masalah serius lainnya yang bisa merusak panen bonus demografi. Selain ittu, juga agar kita benar-benar dapat mempersiapkan generasi unggulan menyongsong Indonesia Emas 2045. Ajakan Hidayat disambut antusias dan positif oleh pimpinan Nasyiatul Aisyiyah Jakarta.*
Editor : Patna Budi Utami