Rubrik Humaniora

Integrasi Data Iklim ke Dalam Perencanaan Kebijakan Pertanian Mendesak Dilakukan untuk Hadapi Dampak Perubahan Iklim

JAKARTA (1/11/2024) -- Integrasi data iklim ke dalam perencanaan kebijakan pertanian Indonesia mendesak dilakukan untuk menghadapi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan. Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim berdampak signifikan terhadap pertanian karena menyebabkan turunnya hasil panen.

Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) menyebutkan, perubahan iklim mengakibatkan produksi kopi menurun hingga 20% dan harga beras di 74 kabupaten naik. Data menunjukkan situasi tersebut berpotensi semakin parah dalam kurun 5 hingga 10 tahun ke depan.

Survei Ubinan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa petani yang mengalami dampak negatif perubahan iklim berpeluang besar mengalami penurunan produktivitas, dan 20% petani Tanah Air mengalami dampak negatif perubahan iklim berupa banjir dan kekeringan.

Oleh karena itu, menurut Board Member CIPS Kadir Ruslan, integrasi data iklim dalam perencanaan pertanian akan membantu petani meningkatkan produktivitas dan meminimalkan dampak perubahan iklim. Sebab, integrasi data iklim memungkinkan adaptasi  terhadap perubahan cuaca tak terduga menjadi lebih cepat dan efektif.

"Integrasi data iklim dengan kebijakan pertanian di banyak negara, termasuk Indonesia, memang masih belum optimal. Data iklim yang tersebar di berbagai institusi dan kurangnya kerangka kebijakan yang memadai menjadi penghambat penggunaan data ini secara efektif dalam sektor pertanian," ujar Kadir, Kamis (31/10/2024).

Ia mengungkapkan, sebagai negara yang bergantung pada sektor pertanian, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengadopsi teknologi pertanian modern. Meskipun teknologi pertanian dapat membantu petani beradaptasi dengan perubahan iklim, mayoritas petani masih bergantung pada metode konvensional yang menghambat daya saing di tengah kebutuhan pangan yang meningkat.

Faktanya, lanjut Kadir, sampai sekarang integrasi data iklim dalam kebijakan pertanian Indonesia masih terbatas. Meski Organisasi Pangan Dunia (FAO) telah melakukan pendekatan dengan merekomendasikan  Climate-Smart Agriculture (CSA) dan telah diterapkan di beberapa negara, di Indonesia penerapannya belum merata. Kendala utamanya yakni terbatasnya akses terhadap data iklim yang akurat dan minimnya kapasitas petani dalam memanfaatkan teknologi modern.

"Petani kita kebanyakan masih mengandalkan metode tanam tradisional, sehingga kesulitan dalam menentukan masa tanam dan panen dengan perubahan cuaca. Dampaknya, produktivitas menurun dan biaya produksi membengkak," ujarnya.

Di sisi lain, tambahnya, laporan Global Food Security Index (GFSI) 2022 menunjukkan ketahanan pangan Indonesia berada pada peringkat 63 dari 113 negara, dengan skor moderat 60,2. Ketergantungan terhadap komoditas tertentu seperti gandum, beras, dan jagung, yang menyuplai 55% kalori masyarakat, memperburuk kerentanan pangan. Oleh katena itu, menurutnya, diversifikasi sumber pangan dibutuhkan untuk menghadapi potensi tidak tersedianya sumber pangan tertentu akibat perubahan iklim ekstrem.

Untuk mengatasi hal itu, Kadir berpendapat tentang pentingnya peningkatan kapasitas petani. Melalui edukasi dan pelatihan, petani dapat belajar memanfaatkan data iklim untuk menentukan waktu tanam, memilih varietas tanaman yang tepat, dan mengelola sumber daya, seperti air, secara efisien.

Selain itu, juga perlu penguatan kolaborasi lintas sektor mulai dari teknologi informasi, penelitian ilmiah dan ekonomi untuk menciptakan solusi yang komprehensif. Indonesia juga membutuhkan kebijakan yang adaptif agar lebih fleksibel terhadap perubahan iklim.

Ia mengatakan, aampai saat ini, kebijakan pertanian dan pangan yang tidak konsisten menyebabkan distorsi pasar dan mengurangi insentif untuk peningkatan produktivitas, misalnya pembatasan impor dan pengendalian harga yang ketat.

Dari perspektif global, Analis TMP Ivana Ema Pavkova menegaskan tentang pentingnya mengantisipasi dampak perubahan iklim di masa depan dan memprioritaskan strategi untuk meningkatkan ketahanan iklim. "Integrasi data iklim sebagai faktor risiko utama dalam perencanaan pertanian dapat menjadi langkah strategis untuk ketahanan pangan yang lebih baik, dengan pendekatan yang seimbang antara produksi domestik dan perdagangan," ujarnya.

Melalui beberapa pendekatan tersebut, sektor pertanian Indonesia diharapkan akan lebih tangguh menghadapi tantangan perubahan iklim dan dapat terus menopang kebutuhan pangan nasional. TMP adalah grup konsultan yang didedikasikan untuk memahami dan memecahkan kompleksnya masalah iklim, lingkungan, sosial, dan keamanan.*

Editor : Patna Budi Utami