Rubrik Humaniora

Perlu Program Perlindungan Sosial yang Adaptif untuk Atasi Kemiskinan

JAKARTA (5/9/2024) -- Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor, sehingga untuk mengatasinya memerlukan program perlindungan sosial yang adaptif. Angka kemiskinan di Indonesia saat ini tercatat 9,03% atau 25,2 juta jiwa dan kemiskinan ekstrem 0,83% atau 2,33 juta jiwa. Sementara itu, penurunan angka kemiskinan kini semakin lambat.

"Bila ada guncangan ekonomi yang disebabkan berbagai hal, bantuan sosial tidak hanya diberikan kepada kelompok yang miskin, tetapi juga kelompok yang rentan agar tidak jatuh miskin," kata Asisten Deputi Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden RI Adyawarman sat menjadi salah seorang narasumber diskusi daring bertema Bedah RUU PPRT: Mengatasi Ketidakadilan Akses PRT Terhadap Bansos yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (4/9/2024).

Melihat program perlindungan sosial yang ada, lanjutnya, itu terdapat pada sejumlah kementerian dan lembaga. Antara lain, Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Tenaga Kerja, dan pemerintah daerah dalam berbagai bentuk bantuan dan subsidi.

Ia mengungkapkan, anggaran bansos yang dikelola oleh Kemensos hanya Rp75,6 triliun dari total Rp496,8 triliun anggaran perlindungan sosial yang disediakan pemerintah. Menurut Adyawarman, saat ini sejumlah daerah sudah menerbitkan peraturan dan anggaran perlindungan bagi pekerja yang masuk kelompok rentan, namun belum menegaskan posisi pembantu rumah tangga (PRT) secara jelas.

Oleh karena itu, ujarnya, pemerintah pusat perlu segera mengadvokasi pemerintah daerah (pemda) untuk memastikan PRT sebagai kelompok pekerja yang rentan dan berhak atas jaminan kecelakaan kerja dan kesehatan, sebagai bagian dari sistem perlindungan kerja.

Diskusi yang dibuka oleh Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat itu menghadirkan sejumlah narasumber lainnya, yakni aktivis Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Yuni Sri Rahayu, anggota Komisi VIII DPR RI Sri Wulan, dan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) RI Mira Riyati Kurniasih. Hadir pula Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati sebagai penanggap, sedangkan moderator Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Anggiasari Puji Aryatie.

Aktivis Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapulidi Yuni Sri Rahayu menyampaikan pengalamannya. Pada masa pandemi Covid-19 di Jakarta saja, ujarnya, PRT kesulitan mengakses bansos. Hal itu terjadi karena kurang akomodatifnya birokrasi di pemda.

Menurutnya, akses untuk PRT terhadap bansos seharusnya sangat terbuka. Kenyataannya, warga kebanyakan pun yang seharusnya mendapat bansos malah tidak dapat. Ia menyebutkan, yang sudah tercatat pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) saja, penyaluran bansosnya bisa diputus. Sri juga menilai data penerima bansos saat ini tidak valid. Ia mengusulkan saat pendataan penerima bansos, pemda didampingi oleh pihak Kemensos.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati berpendapat, bansos yang diberikan pemerintah beragam, tetapi terserak dan tidak terintegrasi sehingga kerap tidak tepat sasaran. Sulitnya PRT mengakses bansos, menurutnya, karena mereka kebanyakan datang dari berbagai daerah, sehingga pemda tempat PRT bekerja kerap terkendala dalam mendata.

"Apalagi, PRT atau pemberi kerja tidak lapor, sehingga pemerintah daerah sulit mendapat data yang akurat terkait penerima bantuan sosial di wilayahnya," ujar Mike. Oleh karena itu ia berharap para pemberi kerja atau majikan PRT berperan aktif memberikan informasi yang akurat kepada RT atau RW setempat bila mempekerjakan PRT, sebagai bagian upaya mempermudah akses penyaluran bansos bagi PRT yang bekerja di rumahnya.

Selain itu, tegas Mike, negara juga harus hadir dalam upaya memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi setiap warganya, termasuk para PRT.

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat membuka diskusi menyampaikan, sejumlah aturan dan data yang tidak valid menyebabkan bansos yang merupakan salah satu mekanisme pengentasan kemiskinan tidak menyentuh PRT. "Pekerja rumah tangga termasuk dalam kategori pekerja tanpa kontrak kerja dengan lingkup dan waktu kerja yang tidak menentu seringkali dinilai tidak layak menerima bansos sebagai pekerja," katanya.

PRT adalah kelompok masyarakat yang haknya sebagai penerima bansos kerap terabaikan karena terhalang sejumlah peraturan. Mengutip laporan dari Jaringan Advokasi Nasional (Jala PRT), Lestari berpendapat, hal itu terjadi karena ketiadaan pengakuan kepada individu sebagai pekerja di rumah tangga berupa regulasi atau dari pemberi kerja. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, PRT tidak diakui sebagai pekerja secara formal.

Akibatnya, tegas legislator dari Daerah Pemilihan II Jawa Tengah itu, para PRT kesulitan mengakses berbagai bantuan atau jaminan sosial. Oleh karena itu, anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap pengakuan PRT sebagai pekerja formal dapat diwujudkan dengan segera dituntaskannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi undang-undang.*

Editor : Patna Budi Utami