"Kebijakan terkait penanganan gizi bukanlah kebijakan taktis, melainkan kebijakan jangka panjang. Diperlukan adanya berbagai intervensi, seperti perubahan kebiasaan, edukasi, dan sejumlah intervensi lain yang saling mempengaruhi satu dan lainnya," kata Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta di Jakarta, Senin (26/8/2024).
Menurutnya, penanganan masalah gizi mendesak sehingga perlu tindakan segera. Tapi pendekatannya tidak taktis dan butuh banyak intervensi. Bentuk intervensi dalam penanganan gizi terkait stunting yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Bentuk intervensi spesifik dapat berupa imunisasi. Sementara itu, bentuk intervensi sensitif dapat melalui perbaikan sanitasi lingkungan dan ketersediaan air bersih.
Kombinasi keduanya, ujar Aditya, diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat dan perbaikan dalam pola konsumsi pangan serta perubahan kebiasaan dan gaya hidup. Ia menambahkan, penanganan gizi jangka panjang juga melibatkan berbagai kementerian dan pemangku kepentingan, seperti Kementerian Koordinator Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pertanian, dan Badan Pangan Nasional.
Saat Badan Pangan Nasional berdiri, tuturnya, mereka juga diserahi kewenangan untuk menangani gizi. Ia menilai hal itu tepat karena unsur gizi juga termasuk di dalam kebijakan pangan dan pertanian.
Aditya mengungkapkan, penelitian CIPS merekomendasikan perlunya koordinasi antarkementerian maupun lembaga untuk menyelaraskan kebijakan dan kegiatan terkait pangan dan gizi. Pemerintah perlu lebih fokus pada peningkatan akses terhadap pangan yang lebih beragam.
Dokumen strategi pangan dan gizi, seperti Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) sudah mencantumkan koordinasi multi-stakeholder. Namun, lanjutnya, RAN-PG belum mengamanatkan evaluasi atau tinjauan sistematis terhadap berbagai kebijakan terkait pangan dan gizi.
Misalnya, RAN-PG seharusnya mengamanatkan tinjauan sistematis kebijakan pertanian (di bawah Kementerian Pertanian) untuk mengatasi dampak program-program yang condong terhadap produksi padi atau ke satu komoditas pangan saja, seperti food estate, subsidi pupuk, bantuan pangan, dan swasembada beras.
Menurut Aditya, tinjauan dan evaluasi diperlukan untuk melihat efek berbagai kebijakan dan program tersebut terhadap pemenuhan gizi yang beragam dari sumber pangan selain pangan pokok. Sementara itu, kebijakan pertanian dan perdagangan harus menghindari insentif dan investasi yang bias terhadap produksi beberapa tanaman pokok saja, karena mengedepankan kebutuhan gizi sangat penting untuk memastikan adanya keragaman di dalam konsumsi pangan masyarakat. Terutama, pada anak yang berada di usia pertumbuhan serta ibu hamil dan menyusui.
Kementerian Perdagangan sebagai leading sector di dalam perdagangan internasional Indonesia, tambahnya, juga perlu memiliki perspektif gizi dalam pengambilan keputusan terkait impor pangan. "Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi secara berkala mengenai kebijakan hambatan non-tarif yang diterapkan pada perdagangan pangan untuk melihat dampaknya. Kebijakan yang menghambat akses masyarakat pada pangan bergizi dan beragam perlu dihilangkan," tegasnya.*
Editor : Patna Budi Utami