"Salah satu tantangan dalam memastikan kebebasan berinternet adalah bagaimana menjalankan praktik moderasi konten yang efektif dan transparan serta mengusung semangat inklusivitas untuk semua pengguna media sosial," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Nidhal.
Ia menjelaskan, moderasi konten secara sederhana dapat diartikan sebagai proses penyaringan dan pengendalian konten daring. Tata kelola moderasi konten pada dasarnya melibatkan kombinasi dari pengaturan aktor negara dan platform media sosial.
Saat ini, kebijakan moderasi konten di Tanah Air diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020. Namun, menurutnya, kebijakan itu belum efektif karena tidak membahas mengenai akuntabilitas. Absennya pembahasan mengenai akuntabilitas berpotensi pada munculnya proses moderasi yang berlebihan, seperti tindakan penghapusan konten.
Selain belum membahas akuntabilitas, lanjut Nidhal, regulasi itu juga mempersempit interpretasi moderasi konten sebagai penghapusan konten saja. Pembatasan konsepsi moderasi konten seperti itu dapat mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selain itu, juga terdapat potensi pemusatan kewenangan pada pemerintah dengan adanya ketentuan mengenai wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam hal pemutusan akses terhadap konten-konten daring.
Permohonan pemutusan akses sebagaimana yang tertuang dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, ujarnya, hanya meninggalkan dua pilihan bagi platform digital, yaitu menghapus atau membiarkan konten yang dilaporkan.
Menurut Nidhal, terpusatnya kebijakan moderasi konten pada pemerintah juga menciptakan kekhawatiran atas wacana pembentukan DMS yang dilontarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie pada Mei lalu. Terlebih, independensi dewan tersebut juga dipertanyakan jika nantinya berada di bawah pemerintah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan, wacana pembentukan DMS berpotensi memunculkan anggapan akan adanya alat baru untuk menekan kebebasan berinternet. Namun di saat bersamaan kehadirannya bisa menjadi penyeimbang dari kewenangan besar yang dimiliki Kemenkominfo.
"Untuk mengimbangi kekuatan itu, Dewan Media Sosial menjadi alternatif karena pendekatan multistakeholderism memunculkan banyak perspektif,” ujarnya dalam diskusi CIPS Digiweek 2024: Kebebasan Internet dan Hak Imperatif Digital di Indonesia: Status Quo dan Tantangan yang berlangsung pekan lalu di Jakarta.
Saat ini, ujarnya, semua kewenangan atas konten digital ada di tangan pemerintah. Dengan berbagai macam regulasi yang ada, ruang siber semakin lama akan semakin sempit dan kedepannya hal tersebut dapat menghambat kebebasan berinternet.
Dalam memastikan pemenuhan hak-hak digital masyarakat diperlukan keterbukaan, salah satunya dengan melibatkan masyarakat sipil. Nenden mengatakan, keterlibatan masyarakat sipil sangat dibutuhkan karena umumnya mereka mengalami secara langsung dampak dari terkekangnya kebebasan berinternet.
Di sisi lain, Senior Editor The Jakarta Post sekaligus Dewan Pengawas Independen Meta Endi Bayuni mengatakan, kebebasan berinternet dapat dicapai jika diikuti adanya pengawasan, aturan jelas, serta pembagian tanggung jawab yang jelas antara regulator dengan platform. Platform, lanjutnya, harus memiliki tanggung jawab sendiri. Platform umumnya memiliki panduan komunitas yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh penggunanya. Sayangnya, ujarnya, belum semua pengguna mengetahui dan menjadikannya acuan dalam bermedia sosial.*
Editor : Patna Budi Utami