Rubrik Ekonomi

Perbedaan Biaya Distribusi Minyak Goreng ke Setiap Daerah Bikin HET tidak Efektif

JAKARTA (22/3/2022) -- Kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang diberlakukan pemerintah pada minyak goreng kemasan tidak efektif  meredam kenaikan harga. HET kini hanya berlaku pada minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter.

"Kementerian Perdagangan menggunakan DMO (domestic market obligation) dan HET dalam pengendalian harga karena memang itu instrumen yang mereka punya. Namun jika ada masalah lain, misalnya ongkos distribusi dan produksi yang meningkat, DMO dan HET semakin tidak efektif," kata Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta, Selasa (22/3/2022).

Keragaman ongkos distribusi di berbagai daerah mengancam kesuksesan HET. Pabrik minyak goreng yang lebih banyak berada di wilayah Indonesia barat seperti Sumatera dan Jawa, membutuhkan ongkos produksi yang berbeda saat akan mengirimkan ke tujuan yang berbeda pula.
 
Perbedaan ini, ujar Krisna, akan membuat harga minyak goreng di Indonesia bervariasi di setiap wilayah yang berbeda di hari-hari normal. Kalau memang ada variasi harga meskipun pada hari biasa, HET mengancam kelangkaan di daerah-daerah yang distribusinya relatif lebih sulit. Apalagi saat ini harga energi dan kapal sedang dalam posisi termahal.

Ia memaparkan, HET minyak goreng kemasan sudah lama akan diatur oleh pemerintah. Ada aturan yang mewajibkan retailer menjual minyak goreng dalam kemasan, tidak boleh lagi dalam bentuk curah. Namun, implementasi peraturan tersebut tertunda terus karena harga minyak goreng kemasan akan jadi terlalu mahal jika dipaksakan untuk semua produsen dan konsumen.

"Akhirnya, sampai sekarang pun aturan tersebut terus tertunda. Harusnya kalau berkaca dari penundaan-penundaan ini, HET sudah dapat diduga akan menimbulkan masalah," jelas Krisna.

Peningkatan bea keluar, lanjutnya, membutuhkan kerja sama dengan Kementerian Keuangan, yang akhirnya dilakukan. Pemerintah juga perlu melihat kaitannya dengan Program BBN yang pelaksanaannya ada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan subsidi warga yang ada di Kementerian Sosial.

Membicarakan supply side, tutur Krisna, berarti juga harus menyelesaikan masalah tenaga kerja, cuaca, dan harga pupuk. Ditambah penggunaan lahan milik negara yang perlu dikoordinasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Permasalahan distribusi, ujarnya, sejak dulu juga selalu ada pada setiap komoditas Indonesia. Semua itu, yang secara fundamental akan menaikan harga minyak goreng, kewenangannya tidak ada di Kementerian Perdagangan. "Penanggung jawab masalah minyak goreng sebenarnya luas, dan tidak bisa hanya menunjuk Menteri Perdagangan," kata Krisna.

Menurutnya, langkah Kementerian Perdagangan menghentikan kebijakan HET pada minyak goreng kemasan dan pengenaan bea keluar hingga 80% adalah kebijakan tepat. Peningkatan besaran bea keluar memungkinkan pemerintah untuk menyubsidi minyak goreng, setidaknya untuk minyak goreng curah.

Minyak goreng kemasan kini kembali berjajar di rak-rak toko dan pasar swalayan walaupun harganya tinggi. Setidaknya, kondisi itu juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mengoptimalkan sendiri alokasi belanja. Harga yang pertama kali lepas, kata Krisna, mungkin saja naik pesat. Namun seiring bertambahnya pasokan dan dimulainya kembali produksi, akan muncul proses pembentukan harga berdasarkan supply dan demand.*

Editor : Patna Budi Utami