"Program link and match antara sektor industri dan pendidikan perlu dievaluasi dan diperkuat seiring dengan perkembangan kebutuhan pasar terhadap keterampilan tertentu, untuk memastikan lulusan pendidikan vokasi dapat terserap di pasar kerja," terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Sharfina Indrayadi, Senin (12/5/2025).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan angka pengangguran Indonesia mencapai 7,28 juta orang pada Februari 2025. BPS juga mengungkap adanya peningkatan jumlah pengangguran pada lulusan sarjana dari 4,8% pada 2022 menjadi 5,18% pada 2023.
Menurut Sharfina, peningkatan kapasitas pekerja menjadi sesuatu yang wajib dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan mempersempit adanya skill gap. Pekerja Indonesia seringkali tidak mampu bersaing dengan pekerja dari negara lain, misalnya karena kekurangan keterampilan berbahasa asing dan keterampilan digital. Sementara itu, skill gap atau kesenjangan skill sering disuarakan oleh dunia industri berikut pemerintah sebagai salah satu penyebab kesulitan untuk menyerap lulusan institusi pendidikan di Tanah Air.
Sharfina menambahkan, peningkatan kapasitas pekerja seharusnya menjadi satu isu yang disuarakan oleh para pekerja dan menjadi perhatian industri. Sebab, urgensi untuk meningkatkan keahlian tenaga kerja sangat signifikan.
Ia juga mengungkapkan bahwa data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional 2018 menunjukan dari 121,02 juta pekerja di sektor pertanian, lebih dari 99% merupakan tenaga kerja berkeahlian rendah. Dominasi tenaga kerja tidak terampil juga terlihat di sektor konstruksi.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat, pada tahun yang sama, dari 8,14 juta pekerja konstruksi, sebanyak 74% di antara mereka adalah tenaga kerja tidak terampil. Data Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan, pelajar Indonesia masih mencatat skor di bawah rata-rata OECD dalam literasi, numerasi, sains, dan pemikiran kreatif (creative thinking).
Percepatan transformasi digital serta berbagai disrupsi ekonomi, termasuk pandemi, lanjutnya, menuntut sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak hanya meningkatkan keterampilan yang dimiliki (upskilling), tetapi juga memperoleh keterampilan baru (reskilling) guna menjaga relevansi dan daya saingnya di pasar kerja.
"Tanpa reskilling dan upskilling yang terarah, Indonesia berpotensi tertinggal dalam persaingan tenaga kerja global. Pembenahan sistem pendidikan nasional perlu memastikan terciptanya angkatan kerja yang kompeten dengan skill yang relevan untuk menghadapi tantangan di masa depan," kata Sharfina.
Untuk memperkuat kolaborasi sektor pendidikan dan industri, CIPS merekomendasikan beberapa hal. Pertama, perlu diperkuatnya program link and match antara sektor industri dan pendidikan untuk memastikan pekerja Indonesia dapat terserap di pasar kerja. Kedua, program sertifikasi melalui pendidikan nonformal dapat menjadi strategi untuk memastikan angkatan kerja terus menyesuaikan dan meningkatkan keterampilan sesuai tuntutan pasar kerja modern.
Ketiga, kurikulum perlu dinamis terhadap kebutuhan para calon pekerja, misalnya mengenai keterampilan tertentu yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing di pasar kerja. Keterampilan berbahasa asing dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diperbolehkan sebagai bahasa pengantar. Dalam revisinya, lanjut Sharfina, hal ini memang tidak diperjelas. Namun mata pelajaran bahasa asing umumnya masuk dalam subjek 'Keterampilan/Kejuruan'.
Selain mempersiapkan kompetensi berbahasa asing, penyiapan keterampilan digital juga perlu dilakukan. Sayangnya, ujarnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta draft revisinya belum secara spesifik mencantumkan mata pelajaran, seperti Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam kerangka dasar kurikulum.
Rekomendasi CIPS keempat, pemerintah perlu menyosialisasikan insentif Super Deduction Tax untuk mendorong proses peningkatan kapasitas pekerja. Menurut Sharfina, perusahaan akan mendapatkan pengurangan pajak hingga 200% dari biaya yang dikeluarkan untuk pelatihan kerja. Insentif ini bertujuan mendorong dunia usaha terlibat aktif dalam pengembangan pendidikan vokasi.
Namun, insentif tersebut masih jarang dimanfaatkan karena dua alasan utama. Pertama, kekhawatiran pelaku usaha terhadap potensi audit yang dianggap kompleks dan berdampak administratif. Kedua, masih terbatasnya sosialisasi dari pemerintah, sehingga banyak perusahaan bahkan belum mengetahui keberadaan insentif itu.
Meskipun demikian, ujarnya, sosialisasi tetap perlu dilakukan untuk mendorong mereka berinvestasi dalam berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas pekerjanya.*
Editor : Patna Budi Utami