Rubrik Ekonomi

Model Pembagian Keuntungan Berkeadilan Atas Pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati Dikaji

JAKARTA (7/11/2024) -- Keanekaragaman hayati memiliki potensi sumber dana yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, beriringan dengan peningkatan perkembangan teknologi dan minat internasional terhadap produk-produk alami (natural products). Hal itu membuat pemanfaatan sumber daya alam hayati (SDAH) Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi dan mengubah paradigma pengelolaan dan konservasi keanekaragaman hayati menjadi profit center.

Topik tersebut menjadi pokok bahasanKonferensi Para Pihak dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (Conference of Parties of Convention on Biological Diversity) di kota Cali, Columbia, sejak dua pekan lalu. Terutama, isu berbagi keuntungan dari data dan informasi sumber daya genetik atau Digitally Sequenced Genetic Information (DSI) yang juga dapat menjadi potensi sumber pendanaan. 

Selaras dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 dan UU Nomor 32 tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pendanaan yang kuat dan berkelanjutan perlu dibangun untuk membiayai proses bisnis pemanfaatan SDAH secara lestari. Pengembangan mekanisme pendanaan berkelanjutan tersebut diharapkan dapat mempertemukan kepentingan ekonomi dengan keberlanjutan kelestarian alam.

"Potensi pendanaan berkelanjutan dari pemanfaatan sumber daya alam hayati sangat besar dan perlu menerjemahkan bagaimana skema dan model kelembagaannya, serta bagaimana pengaturan pendanaan berkelanjutan dirumuskan dalam peraturan teknis dan kebijakan yang menyentuh hulu maupun hilir, sebagai acuan dalam program-program piloting di lapangan dalam pemanfaatan sumber daya alan hayati, termasuk surmber daya genetik, pengelolaan wisata alam, maupun upaya-upaya pemulihan ekosistem," kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Satyawan Pudyatmoko dalam diskusi di Jakarta, Selasa (5/11/2024).

oleh karena itu, lanjutnya, diperlukan regulasi yang komprehensif terkait pendanaan berkelanjutan untuk pembiayaan pengelolaan sumber daya alam hayati, melalui mekanisme pembagian keuntungan (benefit-sharing) secara berkeadilan. Penyusunan naskah sebagai bahan regulasi dilakukan melalui serangkaian focus group discussion (FGD), kajian potensi sumber-sumber pendanaan, dan membuat model pembagian keuntungan dari bisnis usaha konservasi keanekaragaman hayati.
 
Menurut Satyawan, kegiatan tersebut merupakan bagian dari penyusunan naskah akademik untuk rancangan peraturan pemerintah turunan UU Nomor 32 tahun 2024. Naskah akademik disusun atas kajian ilmiah, sehingga pembelajaran dari para pihak dan model pendanaan yang dikembangkan negara-negara lain dapat dijadikan referensi dalam pengembangan regulasi pendanaan berkelanjutan untuk pembiayaan konservasi keanekaragaman hayati.

Staf Ahli Menteri Bidang Pangan Indra Exploitasia menambahkan, pengembangan pilot pendanaan berkelanjutan sekaligus menguji coba mekanisme pembagian keuntungan guna melihat bagi hasil yang adil dari usaha terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati yang bertujuan untuk memastikan para pihak dapat melakukan penandaan anggaran (budget tagging) demi kepentingan upaya konservasi keanekaragaman hayati.
 
"Hal ini dilakukan untuk menjamin pemetaan dan pengalokasian dana secara tepat guna, mendukung pelaksanaan program-program konservasi secara berkelanjutan. Model ini dikembangkan di Landscape-Seascape Flores Barat dan Utara Proyek IN-FLORES KLHK-UNDP-GEF dan Model bisnis inkubasi yang diterapkan di Aceh oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE)," ujar Indra.*

Editor : Patna Budi Utami