"Selain menghubungkan antarwilayah di Indonesia, pembangunan infrastruktur idealnya bisa mendukung tercapainya ketahanan pangan. Pembangunan infrastruktur harus menjadi nilai tambah untuk memudahkan distribusi sehingga akses dan ketersediaan pangan dapat meningkat," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Sarah Firdausi, Jumat (27/9/2024).
Selain menghadapi tantangan perubahan iklim yang kini semakin dirasakan, sektor pertanian juga dihadapkan pada luasnya wilayah Indonesia yang membuat biaya distribusi tinggi. Biaya logistik pangan kemudian dibebankan kepada konsumen, sehingga harga pangan di tingkat konsumen menjadi lebih mahal.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, ujarnya, ongkos logistik di Indonesia terbilang sangat mahal, yakni sebesar 24% dari total PDB. Sementara itu Malaysia berkisar 13% dan Singapura hanya 8% dari total PDB.
Kondisi tersebut diperberat dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu yang menambah kompleksitas distribusi pangan. Daerah-daerah yang jauh dari sentra produksi pangan membutuhkan biaya transportasi yang lebih besar ketimbang yang letaknya relatif dekat dengan sentra produksi pangan.
Ditambah dengan faktor lain, seperti kenaikan harga pupuk, lanjut Sarah, ketersediaan pangan menjadi semakin sulit dan harga yang harus ditanggung oleh konsumen akan semakin tinggi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur diharapkan mampu mencapai kestabilan harga dan ketersediaan komoditas pangan di seluruh wilayah Indonesia.
Pembangunan infrastruktur, tambahnya, harus diarahkan untuk mendukung terciptanya jalur distribusi bahan pangan yang lebih efisien. Penyediaan jenis infrastruktur yang tepat akan menciptakan jalur distribusi pangan yang efisien antardaerah. Komoditas lokal maupun impor akan dapat didistribusikan secara merata ke berbagai daerah di Tanah Air. Hal itu akan berdampak pada kestabilan harga komoditas pangan dan ketersediaannya.
Pembangunan infrastruktur, lanjut Sarah, juga harus diarahkan untuk mendukung terintegrasinya Indonesia dengan perdagangan internasional. Untuk meningkatkan efisiensi dan keterjangkauan harga, Indonesia jangan hanya menggalakan ekspor, namun juga harus siap mengimpor komoditas pangan maupun bahan baku.
Dengan mengikuti mekanisme tersebut, Indonesia diharapkan menjadi semakin kompetitif dalam bidang ekspor dan impor. Harga barang dan komoditas juga akan mengikuti mekanisme internasional sehingga tidak ada lagi pihak yang bisa memonopoli suatu barang atau komoditas tertentu.
"Dengan semakin mudahnya barang atau komoditas masuk dan keluar ke dan dari Indonesia, harga barang dan komoditas tersebut akan semakin terjangkau. Hal itu tentu berdampak positif, antara lain masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dengan komoditas berkualitas dengan harga terjangkau, sehingga mendorong semakin berkembangnya suatu kawasan," katanya.
Menurut Sarah. pembangunan infrastruktur yang berorientasi kepada ketahanan pangan juga akan membuka peluang investasi karena kesiapan infrastruktur merupakan salah satu hal yang diperhatikan oleh calon investor. CIPS mendorong pemerintah untuk menciptakan jalur distribusi barang dan komoditas, dalam hal ini adalah pangan lokal maupun impor, melalui pembangunan infrastruktur yang sedang dilaksanakan.
Ia menyebutkan, masyarakat sebagai konsumen adalah pihak yang akan paling diuntungkan dengan tercapainya ketahanan pangan. Harga pangan juga mudah dijangkau dari sisi harga maupun jarak, karena ketersediaannya bisa terjamin oleh konektivitas antardaerah berkat adanya jalur distribusi yang mudah dan relatif cepat.*
Editor : Patna Budi Utami