Rubrik Ekonomi

Penyelenggaraan Cadangan Beras Pemerintah belum Pasti Jamin Ketahanan Pangan

JAKARTA (9/9/2024)-- Kebijakan pemerintah terkait pengadaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) belum tentu menjamin ketersediaan beras di pasar. Dalam jangka panjang, terdapat beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan pemerintah demi ketahanan pangan sekaligus kelangsungan usaha pertanian.

“Penyelenggaraan CBP untuk stabilisasi harga, walaupun efektif dalam jangka pendek, tidak dapat menjadi solusi permanen bagi permasalahan beras yang kompleks. Harga beras yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir merupakan akibat penurunan produktivitas yang memerlukan solusi jangka panjang,” kata  Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta.

Ia menjelaskan, pemerintah perlu menyadari bahwa produktivitas beras nasional semakin mendatar karena penggunaan varietas unggul baru yang terbatas, kesuburan tanah yang semakin berkurang, serta adanya dampak perubahan iklim. Di sisi lain, rantai nilai beras yang panjang dan kurang efisien menyebabkan harga di tingkat konsumen tinggi namun di sisi petani tidak ada peningkatkan pendapatan yang signifikan. 

Peralihan dan adopsi metode pertanian yang dapat mengadaptasi atas makin berkurangnya luas lahan pertanian Indonesia, ujarnya, sangat penting untung dilakukan. Cara bertani yang lebih fokus pada intensifikasi dan penggunaan input pertanian secara lebih bertanggung jawab, tambahnya, perlu dicapai melalui kebijakan yang tidak fokus pada satu atau dua komoditas pertanian saja.

Selain itu, kebijakan ketahanan pangan di satu sisi mesti menjamin tercukupinya kebutuhan beras domestik dengan harga yang paling terjangkau, misalnya melalui impor atau perjanjian dagang dengan negara penghasil beras yang lebih efisien. Di sisi lain, efisiensi dan nilai tambah pertanian domestik perlu ditingkatkan secara signifikan.  Salah satunya dengan perubahan skema penyaluran subsidi dan bantuan langsung ke petani.

Upaya meningkatkan produktivitas padi, tuturnya, mendesak dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian di Tanah Air. Tamtangan itu antara lain penambah jumlah penduduk, berkurangnya lahan produktif, dan tidak stabilnya daya beli masyarakat.

Menurut Aditya, data statistik menunjukkan produktivitas padi dalam beberapa tahun terakhir berada pada rata-rata 52 kuintal per hektare (ha), dengan pertumbuhan yang cenderung melandai. Ia menyebut, masih ada ruang untuk meningkatkan produktivitas padi.

CIPS merekomendasikan upaya peningkatan produktivitas lahan maupun tenaga kerja dilakukan melalui penggunaan bibit unggul, peningkatan akses petani terhadap pupuk, penanganan serangan hama/organisme pengganggu tanaman (OPT), dan penggunaan mesin pertanian atau mekanisasi. Selain itu, juga dapat dilakukan perbaikan teknik budidaya, perbaikan dan perluasan jaringan irigasi, penggunaan modifikasi cuaca untuk mitigasi perubahan iklim, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian.

Ketimpangan produktivitas padi antara wilayah Jawa dan luar Jawa, ujarnya, juga merupakan isu yang penting untuk diselesaikan dalam upaya meningkatkan produktivitas nasional. Saat ini, sekitar 50% dari luas panen padi Indonesia berasal dari wilayah luar Jawa, namun kontribusinya terhadap produksi padi nasional hanya sekitar 44%. Sementara itu, upaya untuk menarik lebih banyak investasi swasta di sektor pertanian dapat dilakukan pada pemupukan dan perbenihan. Hal itu dibutuhkan untuk menciptakan kompetisi bagi para penyedia pupuk dan benih serta memberikan kesempatan kepada para petani agar dapat mengakses input pertanian yang dibutuhkan dengan harga kompetitif.

Selain permasalahan produktivitas, kata Aditya, pemerintah juga perlu mengidentifikasi dan menyederhanakan sejumlah peraturan dan proses untuk mengurangi biaya logistik yang ditanggung konsumen.

Di tingkat nasional, logistik berkontribusi antara 21% hingga 23% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, atau jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Biaya transportasi dan persediaan mendominasi biaya logistik di Indonesia. Menurut Aditya, distribusi beras rumit karena produksi beras terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara itu konsumsinya tinggi di seluruh Indonesia.*

Editor : Patna Budi Utami