Special Report DPD RI

Jangan Lupakan Konstelasi Sosial Politik di Ujung Timur Indonesia

JAKARTA (25/12/2022) --- Kita berada di penghujung tahun 2022. Berbagai peristiwa sosial dan politik berlangsung sepanjang tahun. Segudang persepsi dan opini bermunculan dalam memaknai perjalanan tahun, yang bagi sebagian orang dipenuhi dengan hiruk-pikuk tidak mudah dilalui. Belum lama kita berada dalam situasi sosial yang mencekam. Pandemi Covid-19 dengan ragam variannya memberi warna lain tentang cara kita memaknai perjalanan kebangsaan dan ke-Indonesia-an.

Ketua Komite II DPD Yorrys Raweyai mengajak publik untuk tidak melupakan konstelasi sosial dan politik yang berlangsung di ujung timur Indonesia, yakni Papua. Menurut Anggota DPD Dapil Papua itu, publik jangan pernah melupakan kondisi Papua. Sebab selama ini, wilayah tersebut cenderung diabaikan, meski persoalan demi persoalan terus bermunculan.

“Itulah yang terasa dari waktu-waktu. Berbagai macam aturan dan kebijakan dikeluarkan untuk merespons persoalan kedaerahan Papua, tapi tidak kunjung memenuhi persepsi dan visi yang sama,” ujar Yorrys dalam keterangan yang diterina di Jakarta, Minggu (25/12/2022)

“Persoalan demi persoalan bermunculan justru di saat begitu banyak kanal representatif seperti DPD, DPR, DPRP dan MRP yang sedianya menjembatani kesenjangan pemahaman tentang apa yang dimaksudkan oleh pemerintah pusat dan apa yang dikehendaki oleh rakyat Papua,” kata Yorrys.

Pada 2022 menjadi tahun pertama yang dilewati setelah kebijakan otonomi khusus berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2001, diperbarui dengan UU Nomor 2 Tahun 2021. Menurut Yorrys muatan perubahan UU otonomi khusus sangat ideal, sebagai usaha mempercepat pembangunan kesejahteraan, dan peningkatan pelayanan publik yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Namun, muatan ideal itu cenderung tidak memiliki pengaruh signifikan untuk melahirkan perubahan.

“UU Otonomi Khusus yang baru itu seperti cek kosong yang melompong. Karena, menyamakan persepsi melalui sosialisasi menyeluruh dan berkesinambungan, tidak kunjung terwujud. Padahal, begitu banyak figur representatif yang bisa diajak bekerja sama untuk mewujudkan kesamaan persepsi tersebut,” jelas Yorrys yang juga Ketua MPR for Papua.

Menurut Yorrys, kebijakan baru ini bukannya diterima begitu saja, melainkan dipenuhi dengan pergolakan paham dan pemikiran. Belum lagi, aturan turunan berupa peraturan pemerintah yang tidak kunjungan dipahami secara sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Yorrys mencatat, sejak Otonomi Khusus Jilid II diundangkan, pemerintah telah mengeluarkan dua peraturan turunan terkait UU Otonomi Khusus, yakni PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua, dan PP Nomor. 107 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua. Terakhir pada 2022, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 121 Tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.

“Namun satu hal yang menjadi pertanyaan besar, hingga saat ini elemen kedaerahan yang terdiri  atas  pemerintah daerah (termasuk DPRP) serta lembaga kultural MRP tidak satu pun merespons aturan-aturan itu, dalam bentuk peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus (Perdasi dan Perdasus). Jadi bisa dipastikan, masa depan Papua cenderung didominasi persepi pemerintah pusat,” papar Yorrys.


Wakil Ketua MPO Pemuda Pancasila itu juga menyinggung tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua yang menjadi tantangan baru. Menurutnya, pemekaran wilayah di Papua bukan hanya soal politik kontestasi dan pembagian kekuasaan dan jabatan, tapi sejauhmana substansi persoalan di Papua terjamah dan terakmodasi.

“DOB di Papua adalah tantangan baru di tengah persoalan yang sudah menumpuk. Jika tidak dikelola dengan baik, maka apa pun yang dihasilkan pada tahun 2022 ini akan menjadi beban sosial dan politik bagi masyarakat Papua,” tandas Yorrys. ****