Rubrik Amerika

Indonesia Minta Negara-Negara Maju Bertanggung Jawab Atas Pendanaan Perlindungan Keanekaragaman Hayati Dunia

MONTREAL (21/12/2022) -- Indonesia berpotensi memiliki tanggung jawab lebih besar dibandingkan negara maju dalam pelaksanaan target 30 by 30 yang berimplikasi pada beban pembiayaan negara. Target 30 by 30 adalah konservasi atas 30% area darat dan laut dunia pada 2030 dalam upaya melestarikan dan melindungi keanekaragaman hayati dunia.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Alue Dohong menekankan pentingnya seluruh pihak dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity/CBD) untuk memberlakukan prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) dan penerapan kewajiban yang berkeadilan (equity) sebagai prinsip utama yang melandasi pembentukan Kerangka Keanekaragaman Hayati Global (Global Biodiversity Framework/GBF) yang salah satunya mengusulkan penetapan target konservasi 30 by 30. Indonesia juga mendukung adanya peran dan tanggung jawab perlindungan keanekaragaman hayati oleh elemen masyarakat.

"Bagi Indonesia, prinsip CBDR telah menjadi jus cogens (azas dasar) dalam hukum lingkungan internasional dan hal ini telah direfleksikan dalam Pasal 20 CBD, Prinsip ke-7 dari Deklarasi Rio serta Persetujuan Paris. Indonesia tidak bisa menyetujui GBF apabila prinsip CBDR tidak diberlakukan," tegas Wakil Menteri LHK Alue Dohong saat hadir dalam Konferensi Para Pihak ke-15 CBD dari Konvensi Keanekaragaman Hayati atau COP-15 CBD di Montreal, Kanada, sejak 7 hingga 19 Desember 2022.

Pertemuan COP-15 berupaya menghasilkan komitmen global untuk melestarikan dan melindungi keanekaragaman hayati dunia serta menjamin penggunaan yang berkelanjutan dan pembagian manfaat yang adil dan seimbang. Tujuan tersebut dicapai melalui penyusunan GBF.

Berbagai studi menyimpulkan bahwa implementasi GBF membutuhkan pendanaan yang sangat besar, yakni sekitar US$700 miliar. Sebagai negara berkembang dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, Indonesia berpotensi memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam pelaksanaan target 30 by 30 tersebut.

Indonesia juga menekankan bahwa target global 30 by 30 akan sangat bergantung pada kontribusi nyata negara-negara mega-biodiversity yang kebanyakan adalah negara berkembang dengan kemampuan fiskal terbatas untuk mendanai implementasi GBF dan memiliki hak untuk melakukan pembangunan (right to develop). Untuk itu, Wamen LHK Alue Dohong menyerukan kepada negara-negara maju agar melaksanakan tanggung jawab pendanaan bagi negara berkembang sebagaimana telah dimandatkan dalam Pasal 20 CBD sejak 1992 namun sampai saat ini belum terealisasi.

Ia juga menyatakan dukungannya atas posisi 70 negara berkembang lain yang tergabung dalam Like-Minded Countries (LMCs) untuk meminta COP-15 membentuk Global Biodiversity Fund guna mengurangi gap pembiayaan untuk implementasi GBF. Selama ini, Indonesia menerima bantuan kerja sama dalam pelaksanaan konservasi melalui Global Environment Facility (GEF). Namun kontribusi GEF dalam pembiayaan nasional upaya konservasi masih sangat minim, yakni hanya 0.7% dari total kebutuhan pendanaan untuk konservasi.

"Indonesia meminta komitmen lebih kuat dari negara-negara maju untuk meningkatkan kontribusi ke GEF secara signifikan selagi negara-negara berkembang mencari alternative funding melalui Global Biodiversity Fund," ujarnya.

Alue Dohong mengungkapkan, secara nasional Indonesia telah berhasil mencapai berbagai target konservasi dalam GBF. Indonesia juga mendukung penuh penyusunan GBF yang ambisius namun pragmatis. Sampai 2020, lanjutnya, lebih dari 54% kawasan hutan sudah merupakan kawasan lindung. Sedangkan untuk kawasan laut, sekitar 8,7% kawasan penting laut sudah dilindungi secara hukum. Pemerintah Indonesia juga berencana menambah luas kawasan lindung laut mencapai 32,5 juta hektare pada 2030 dan secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 30% pada 2045.

"Kita semua harus memahami bahwa tidak semua negara memiliki kapasitas dan kemampuan yang sama, serta tidak semua negara memiliki keahlian, teknologi maupun kemampuan finansial yang dapat disandingkan dengan negara maju. Indonesia mendukung penuh penerapan CBDR melalui voluntary commitment yang menghormati penuh kondisi, prioritas, dan kapabilitas setiap negara," tuturnya.

Dalam COP-15 CBD Alue Dohong juga bertindak sebagai Ketua Delegasi Indonesia, sedangkan Duta Besar RI untuk Kanada Daniel TS Simanjuntak sebagai Ketua Delegasi Pengganti. Komposisi delegasi Indonesia terdiri dari wakil sejumlah kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia, Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pangan Nasional, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta KBRI Ottawa.*

Editor : Patna Budi Utami